Pengawasan BGN untuk MBG: Strategi Cegah Keracunan
Mercubuanayogya.ac.id – Jakarta, 2 Oktober 2025 – Program Makan Bergizi Gratis (MBG) dirancang untuk memenuhi kebutuhan gizi jutaan siswa di Indonesia. Namun, insiden keracunan makanan menimbulkan kekhawatiran besar. Untuk mengatasinya, Pengawasan BGN untuk MBG menjadi fokus utama pemerintah melalui pengawasan berlapis di Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) dan Unit Kesehatan Sekolah (UKS). Rapat koordinasi lintas kementerian pada 2 Oktober 2025 menetapkan Badan Gizi Nasional (BGN) untuk memantau bahan baku harian, sementara UKS memeriksa makanan sebelum dikonsumsi siswa. Dengan dukungan Kemenkes, BPOM, dan pemerintah daerah, strategi ini menargetkan penurunan risiko keracunan hingga 50 persen. Artikel ini mengulas mekanisme pengawasan, tantangan implementasi, dan manfaatnya bagi kesehatan anak serta ekonomi lokal.
Urgensi Pengawasan BGN untuk MBG
Kasus keracunan makanan terkait MBG, yang menjangkau lebih dari 400 ribu sekolah, menjadi sorotan sepanjang 2025. Penyebab utama meliputi bahan baku berkualitas rendah dan penyimpanan tidak higienis di SPPG. Oleh karena itu, pengawasan BGN untuk MBG diperketat untuk memastikan makanan aman dan bergizi. Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menegaskan bahwa pengawasan ini penting untuk mencegah gangguan kesehatan, seperti diare atau infeksi bakteri, yang dapat mengganggu perkembangan anak.
Misalnya, beberapa SPPG kedapatan menggunakan sayuran yang disimpan terlalu lama, memicu kontaminasi. Dengan demikian, pemerintah melibatkan berbagai pihak untuk membangun sistem pengawasan yang komprehensif, mulai dari hulu hingga hilir distribusi makanan.
Peran BGN dalam Pengawasan MBG oleh BGN
BGN bertanggung jawab atas pengawasan internal harian di SPPG, dengan fokus pada kualitas bahan baku, seperti daging, sayuran, dan karbohidrat. Petugas BGN menggunakan checklist digital untuk memeriksa kesegaran bahan, kebersihan dapur, dan kepatuhan terhadap SOP. Contohnya, mereka memastikan bahan dibeli harian untuk mencegah pembusukan, serta melakukan uji organoleptik sederhana untuk mendeteksi kontaminan.
Selain itu, BGN mengembangkan platform pelaporan real-time untuk memantau SPPG. Sistem ini memungkinkan tindakan cepat terhadap pelanggaran, seperti penggunaan bahan kadaluarsa. Pemerintah juga menargetkan pembangunan 30.000 SPPG, dengan 2.000 didanai APBN, untuk memperluas jangkauan MBG tanpa mengorbankan kualitas. Oleh karena itu, pengawasan harian BGN menjadi fondasi keamanan pangan program ini.
Kontribusi Kemenkes dan BPOM
Kementerian Kesehatan dan BPOM melengkapi pengawasan BGN melalui inspeksi eksternal mingguan ke SPPG. Tim gabungan ini mengevaluasi kepatuhan terhadap regulasi keamanan pangan, termasuk sterilisasi alat masak dan pengujian sampel makanan. BPOM, misalnya, memeriksa residu pestisida, sementara Kemenkes fokus pada pencegahan wabah akibat makanan. Inspeksi ini juga melibatkan pemerintah daerah untuk memastikan koordinasi dengan aparat lokal.
Pendekatan berlapis ini meminimalkan celah dalam pengawasan. Dengan demikian, pelanggaran seperti penggunaan bahan tidak higienis dapat terdeteksi lebih awal, dan rekomendasi perbaikan, seperti pelatihan staf SPPG, dapat diterapkan segera.
Peran UKS dalam Memeriksa MBG
Unit Kesehatan Sekolah (UKS) menjadi garda terdepan di lebih dari 400 ribu sekolah untuk memeriksa MBG sebelum disajikan. Petugas UKS dilatih untuk mengenali tanda-tanda makanan bermasalah, seperti bau tidak sedap, perubahan warna, atau tekstur lendir. Pelatihan ini, yang dikoordinasikan dengan Kementerian Pendidikan, memastikan pemeriksaan sederhana namun efektif tanpa membebani guru.
Selain itu, sekolah melaporkan temuan ke BGN melalui aplikasi digital, memungkinkan respons cepat terhadap potensi risiko. Misalnya, jika makanan tidak memenuhi standar, distribusi dapat dihentikan sebelum mencapai siswa. Dengan demikian, UKS memainkan peran krusial dalam menjaga keamanan MBG di tingkat konsumen.
Tantangan Implementasi Pengawasan
Meski strategis, pengawasan MBG menghadapi sejumlah tantangan. Di daerah terpencil, seperti Maluku atau Papua, keterbatasan infrastruktur dan pasokan bahan baku segar menyulitkan operasional SPPG. Beberapa komunitas lokal bahkan menolak MBG karena kualitas makanan yang buruk. Pemerintah merespons dengan memperketat seleksi pemasok dan menerapkan sistem pembiayaan bertahap, di mana dana dicairkan setelah verifikasi kualitas.
Selain itu, keterlibatan militer dalam pengelolaan SPPG menuai kritik karena dianggap di luar tugas pokok TNI. Namun, pemerintah menegaskan bahwa peran ini sementara untuk mendukung daerah dengan sumber daya terbatas. Oleh karena itu, solusi jangka panjang, seperti pelatihan tenaga lokal dan peningkatan kapasitas SPPG, menjadi fokus utama.
Manfaat Pengawasan bagi Kesehatan dan Ekonomi
Penguatan pengawasan MBG oleh BGN diharapkan menekan angka keracunan makanan hingga 50 persen dalam setahun. Program ini juga mendukung pencegahan stunting dan obesitas melalui asupan gizi seimbang. Dari sisi ekonomi, MBG menciptakan peluang kerja di SPPG dan meningkatkan pendapatan petani lokal sebagai pemasok bahan baku.
Secara keseluruhan, Pengawasan BGN untuk MBG mencerminkan komitmen pemerintah untuk menjaga kesehatan anak Indonesia. Dengan pendekatan berlapis yang melibatkan BGN, Kemenkes, BPOM, dan UKS, program ini berpotensi menjadi model global, asalkan implementasi berjalan konsisten dan transparan.