Insentif Rp100 Ribu untuk Guru MBG: Kritik JPPI Sebut Minim Dosis

October 1, 2025 by No Comments

0 0
Read Time:5 Minute, 14 Second

Mercubuanayogya.ac.idJakarta, 1 Oktober 2025 – Pemerintah memberikan insentif Rp100 ribu per hari bagi guru penanggung jawab distribusi Program Makan Bergizi Gratis (MBG) di sekolah-sekolah penerima manfaat. Kebijakan ini, yang tertuang dalam Surat Edaran Badan Gizi Nasional (BGN) Nomor 5 Tahun 2025, memprioritaskan guru bantu dan honorer sebagai pelaksana utama. Meskipun dimaksudkan sebagai bentuk apresiasi, kebijakan ini menuai kritik dari Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), yang menyebutnya sebagai “penawar pahit minim dosis” karena tidak sebanding dengan beban kerja dan risiko yang ditanggung para guru.

Program MBG, yang diluncurkan untuk meningkatkan status gizi anak sekolah, kini memasuki tahap implementasi lebih lanjut. Setiap sekolah diwajibkan menunjuk 1 hingga 3 guru sebagai PIC (Person In Charge) distribusi makanan, dengan sistem rotasi harian untuk memastikan pemerataan tugas. Dana insentif bersumber dari biaya operasional Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) sekolah, dan dicairkan setiap 10 hari sekali. Oleh karena itu, kebijakan ini diharapkan mendorong dedikasi guru dalam menjalankan program nasional yang ambisius ini.

Namun, kritik dari JPPI menyoroti ketidakseimbangan antara kompensasi dan tanggung jawab. Dengan demikian, perdebatan ini membuka diskusi lebih luas tentang keberlanjutan program MBG dan perlindungan tenaga pendidik honorer.

Ketentuan Insentif dalam Surat Edaran BGN

Surat Edaran BGN Nomor 5 Tahun 2025 secara rinci mengatur pemberian insentif guru MBG. Setiap sekolah penerima manfaat wajib menunjuk 1 hingga 3 guru sebagai penanggung jawab distribusi makanan bergizi gratis. Penunjukan dilakukan oleh kepala sekolah, dengan prioritas utama kepada guru bantu dan honorer. Sistem rotasi harian diterapkan untuk menghindari beban berlebih pada individu tertentu, memastikan distribusi tugas yang adil di seluruh staf pengajar.

Sebagai dukungan finansial, setiap guru PIC menerima insentif sebesar Rp100 ribu per hari penugasan. Dana ini bersumber dari anggaran operasional SPPG sekolah, yang dikelola secara transparan sesuai regulasi berlaku. Pencairan dilakukan secara berkala setiap 10 hari sekali, memungkinkan guru untuk mengelola keuangan dengan lebih baik. Dengan demikian, BGN berharap insentif ini dapat meningkatkan motivasi dan komitmen guru terhadap program MBG.

Wakil Kepala BGN, Nanik S Deyang, menekankan bahwa insentif ini bukan hanya kompensasi finansial, melainkan pengakuan atas dedikasi guru. “Kami mengharapkan peran guru dalam memastikan kelancaran distribusi MBG berjalan optimal, sehingga status gizi anak bangsa dapat terus membaik,” ujar Nanik. Ia juga mengingatkan bahwa mekanisme pertanggungjawaban dana harus mengikuti ketentuan hukum, dengan pengawasan ketat dari SPPG sekolah terkait.

Program MBG sendiri bertujuan untuk menjangkau jutaan siswa di seluruh Indonesia, dengan target peningkatan gizi yang signifikan. Oleh karena itu, peran guru sebagai garda terdepan menjadi krusial, meskipun kebijakan ini masih menuai pro dan kontra.

Kritik JPPI: Insentif Rp100 Ribu Minim untuk Beban Kerja Guru

Koordinator Nasional JPPI, Ubaid Matraji, dengan tegas mengkritik kebijakan insentif guru MBG sebesar Rp100 ribu per hari. Menurutnya, nominal tersebut tidak sebanding dengan beban kerja tambahan dan risiko yang harus ditanggung para guru, terutama honorer. “Ini hanyalah penawar pahit minim dosis untuk beban kerja dan risiko yang jauh lebih besar,” tegas Ubaid dalam keterangannya kepada wartawan pada Selasa, 30 September 2025.

Ubaid menilai bahwa insentif ini gagal menyentuh akar masalah dalam program MBG. Ia menyoroti isu-isu struktural seperti tata kelola yang buruk, kualitas makanan rendah, minimnya jaminan keamanan pangan, dan kurangnya transparansi dalam distribusi. “Alih-alih menyelesaikan persoalan dasar, kebijakan ini justru membebani guru dengan tugas administratif dan logistik yang berat,” tambahnya. Selain itu, prioritas kepada guru honorer berpotensi mengeksploitasi kelompok rentan ini, yang sering kali tidak memiliki perlindungan sosial memadai.

Potensi eksploitasi semakin nyata mengingat guru honorer biasanya menerima gaji bulanan yang minim. Dengan demikian, menempatkan mereka sebagai PIC utama bisa menambah beban finansial dan emosional, terutama jika terjadi keluhan dari orang tua atau masalah distribusi. JPPI mendesak pemerintah untuk merevisi kebijakan, termasuk meningkatkan nominal insentif dan melibatkan tenaga ahli gizi profesional untuk mengurangi beban guru.

Ubaid juga menyerukan audit independen terhadap program MBG secara keseluruhan. “Tanpa transparansi, program ini berisiko menjadi beban bagi pendidik, bukan solusi bagi anak-anak,” katanya. Kritik ini sejalan dengan laporan JPPI sebelumnya, yang menemukan ketidakefisienan di 30% sekolah penerima manfaat.

Respons BGN: Pengakuan Dedikasi dan Pengawasan Ketat

Menanggapi kritik, Nanik S Deyang dari BGN menegaskan bahwa insentif guru MBG dirancang sebagai bentuk apresiasi atas kontribusi guru. “Insentif ini mengakui dedikasi guru dalam mendukung keberhasilan program, di mana distribusi makanan harus tepat sasaran dan higienis,” ujarnya. BGN juga menjamin pengawasan ketat terhadap penggunaan dana, dengan laporan berkala yang diaudit oleh inspektorat.

Nanik menambahkan bahwa program MBG telah menunjukkan hasil positif, seperti peningkatan asupan gizi di daerah tertinggal sebesar 15% pada semester pertama 2025. Oleh karena itu, peran guru tidak tergantikan, dan insentif Rp100 ribu diharapkan menjadi motivator awal. Ia juga membuka ruang dialog dengan JPPI untuk perbaikan ke depan, termasuk pelatihan bagi PIC agar tugas lebih efisien.

Meskipun demikian, BGN mengakui tantangan logistik di lapangan, seperti keterlambatan pengiriman makanan. Dengan demikian, kebijakan rotasi harian dimaksudkan untuk mencegah kelelahan, sementara prioritas honorer bertujuan memberdayakan tenaga lokal yang lebih fleksibel.

Dampak Kebijakan terhadap Guru Honorer dan Program MBG

Kebijakan insentif guru MBG berdampak ganda terhadap tenaga pendidik honorer. Di satu sisi, Rp100 ribu per hari bisa menjadi tambahan penghasilan signifikan bagi guru dengan gaji di bawah Rp2 juta per bulan. Misalnya, rotasi harian di sekolah dengan 20 hari operasional bisa menghasilkan Rp2 juta tambahan per bulan. Namun, di sisi lain, risiko hukum jika terjadi keracunan makanan atau keluhan kualitas bisa menimpa PIC secara pribadi.

JPPI memperkirakan bahwa 70% guru honorer di sekolah pedesaan akan terdampak, di mana infrastruktur distribusi masih minim. Oleh karena itu, Ubaid mendesak alokasi anggaran tambahan untuk asuransi dan pelatihan keselamatan bagi PIC. Tanpa itu, kebijakan ini berpotensi memperburuk ketidakadilan struktural di dunia pendidikan.

Secara keseluruhan, program MBG telah menjangkau 5 juta siswa sejak peluncuran, dengan anggaran tahunan Rp70 triliun. Namun, kritik JPPI menekankan perlunya evaluasi holistik. Dengan demikian, pemerintah diharapkan merespons masukan ini untuk memastikan program berjalan inklusif dan berkelanjutan.

Harapan JPPI dan Rekomendasi ke Depan

JPPI tidak menolak insentif sepenuhnya, tetapi menuntut peningkatan substansial. Ubaid merekomendasikan nominal minimal Rp300 ribu per hari, disertai kontrak resmi untuk lindungi hak guru. Selain itu, pembentukan tim gizi profesional di setiap kabupaten bisa mengurangi beban administratif guru. “Program MBG harus fokus pada kualitas, bukan kuantitas distribusi,” tegasnya.

BGN, melalui Nanik, menyambut baik rekomendasi ini dan berjanji mereview dalam rapat koordinasi November 2025. Dengan demikian, kolaborasi antara pemerintah dan LSM seperti JPPI diharapkan menghasilkan kebijakan yang lebih adil. Pada akhirnya, keberhasilan MBG bergantung pada dukungan guru yang merasa dihargai, bukan dieksploitasi.

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %