Usulan UU MBG Muncul Usai Marak Keracunan Massal, Pakar Hukum Beri Tanggapan
Mercubuanayogya.ac.id – Usulan UU MBG kian mengemuka di tengah maraknya kasus keracunan massal pada Program Makan Bergizi Gratis (MBG) di berbagai sekolah Indonesia. Ketua Komisi IX DPR RI, Felly Estelita Runtuwene, mendorong pembentukan Undang-Undang khusus untuk memastikan program ini berjalan sistematis dan berkelanjutan. Pakar Hukum Tata Negara Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Dr. King Faisal Sulaiman, S.H., LLM, menilai langkah ini strategis untuk perkuat legitimasi dan tata kelola. Dengan usulan UU MBG, pemerintah dapat jawab persoalan pengawasan yang masih lemah, terutama setelah ribuan kasus keracunan sejak Januari 2025. Berikut analisis mendalam tentang usulan ini, tanggapan pakar, dan implikasinya bagi kebijakan nasional.
Usulan UU MBG: Respons DPR terhadap Kasus Keracunan
Komisi IX DPR RI mengusulkan usulan UU MBG setelah Badan Gizi Nasional (BGN) laporkan 6.517 kasus keracunan hingga September 2025, dengan lonjakan 2.197 korban pada pekan terakhir. Felly Estelita Runtuwene tekankan bahwa Perpres saat ini terlalu lemah untuk jamin keberlanjutan program. Misalnya, kasus di Cipongkor, Bandung Barat (475 siswa keracunan) dan Agam, Sumatera Barat (86 korban) picu KLB dan tuntutan evaluasi mendalam.
Pakar King Faisal Sulaiman setuju bahwa UU akan berikan kepastian hukum pada kewenangan dan pembiayaan. “Dasar hukum kuat cegah penyimpangan, terutama di distribusi makanan,” ujarnya. Dengan demikian, usulan ini bukan sekadar reaktif, tapi proaktif untuk lindungi anak sekolah. Oleh karena itu, DPR harap percepatkan pembahasan di 2026. Selain itu, kolaborasi dengan BGN dan Kementerian Kesehatan jadi kunci implementasi.
Peran Pemerintah Pusat dan Daerah dalam Tata Kelola
King Faisal soroti pembagian peran yang kabur antara pusat dan daerah, di mana APBN dominasi tanpa porsi APBD yang jelas. “Alokasi anggaran jangan hanya beban pusat; daerah harus tanggung jawab proporsional,” katanya. Misalnya, transfer dana ke daerah sering salah hitung sebagai anggaran MBG, akibatkan pengawasan lemah di lapangan.
UU MBG dapat tegas mekanisme pendanaan dan tanggung jawab daerah, hindari pembebanan saat masalah muncul. Dengan demikian, daerah seperti Jawa Barat dan NTT dapat integrasikan MBG ke program lokal. Oleh karena itu, regulasi ini perkuat koordinasi vertikal. Selain itu, pelatihan SPPG (Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi) di daerah jadi prioritas untuk cegah keracunan berulang.
Aspek Substansial dan Pengawasan dalam UU
Pakar UMY tekankan UU MBG harus substansial, bukan normatif semata. Elemen kunci termasuk tata kelola rantai pasok, mekanisme pengawasan, alokasi anggaran, dan partisipasi masyarakat. “Siapa awasi siapa, bagaimana anggaran dialokasikan, dan bagaimana masyarakat libat,” tanyanya. Misalnya, komite pengawas melibatkan sekolah, orang tua, ahli gizi, dan ormas untuk deteksi dini risiko.
Partisipasi masyarakat perkuat pengawasan dan buka lapangan kerja di sektor gizi. Dengan demikian, MBG bukan hanya program pemerintah, tapi gerakan nasional. Oleh karena itu, keterlibatan JPPI (Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia) bisa tingkatkan transparansi. Selain itu, standar higienis dan mutu makanan jadi mandatori untuk kurangi kasus seperti di Sukoharjo atau Banggai Kepulauan.
Sanksi Hukum untuk Cegah Penyimpangan
King Faisal desak masukkan sanksi administratif dan pidana dalam usulan UU MBG, karena Perpres tak cukup kuat. “Sanksi pidana untuk penyimpangan kontrak atau standar makanan cegah korupsi,” tegasnya. Misalnya, kasus keracunan di Bogor (ratusan korban) tunjukkan lemahnya sanksi terhadap penyedia, akibatkan pengulangan.
UU ini berikan ruang proses hukum tegas, termasuk tuntutan pidana untuk kelalaian fatal. Dengan demikian, pelaku penyimpangan tak lolos impunitas. Oleh karena itu, integrasi dengan UU Pangan dan Kesehatan tingkatkan efektivitas. Selain itu, audit rutin BPK bisa pantau implementasi di lapangan.
Dampak Ekonomi dan Sosial dari Regulasi MBG
Usulan UU MBG tak hanya atasi keracunan, tapi juga dorong dampak positif gizi dan ekonomi. Program ini target 82,9 juta anak sekolah hingga akhir 2025, tapi evaluasi CISDI sarankan hentikan sementara jika risiko tinggi. King Faisal lihat UU sebagai jembatan: tingkatkan gizi anak, kurangi stunting, dan ciptakan lapangan kerja di industri makanan sehat.
Misalnya, alihkan sebagian anggaran ke petani lokal untuk bahan segar. Dengan demikian, MBG jadi pendorong ekonomi daerah. Oleh karena itu, regulasi ini dukung visi Indonesia Emas 2045 melalui SDM sehat. Selain itu, partisipasi swasta dalam pengadaan bisa tingkatkan efisiensi, asal diawasi ketat.
- Usulan Utama: UU MBG untuk tata kelola, pengawasan, anggaran, dan sanksi.
- Kasus Keracunan: 6.517 korban hingga Sept 2025, lonjakan di Jabar, NTT, Sumbar.
- Tanggapan Pakar: King Faisal: Perkuat legitimasi, bagi peran pusat-daerah.
- Aspek Kunci: Partisipasi masyarakat, sanksi pidana, standar higienis.
- Dampak: Cegah penyimpangan, tingkatkan gizi anak, dorong ekonomi lokal.